Selasa, 20 Desember 2011

Luka

Sepanjang lebih dari 10 tahun saya jadi dokter, sering banget saya ketemu yang namanya luka. Nama medisnya pun tak kalah menarik: Vulnus. Berikut dengan ‘gelar’ jenis lukanya, misal luka gigitan: vulnus morsum, atau vulnus laceratum untuk luka robek. Luka juga gak musti yang ‘segar’, seringkali yang udah penuh nanah, bahkan pernah sekali dapat luka yang udah berbelatung. Kesembuhan luka pun gak selalu bisa balik mulus. Apalagi kalo yang punya bakat keloid seperti saya, wakakakak, bekas lukanya gak kalah sangar dari lukanya sendiri.
Saya punya ketertarikan sendiri terhadap luka (kalo gak tertarik, gak mungkin juga saya nulis di blog soal luka, kan, wkwkwk). Gak tahu kenapa, kalo nulis puisi beberapa kali (sering, ding…) suka sekali pake kata luka. Termasuk kata ini: ’sebuah luka adalah ibunda peristiwa’. ya tentu aja bukan luka fisik maksudnya sih, tapi luka ‘jiwa’ ciehhh hahaha. Ya, bener luka rohani. Menurut saya dari luka rohani, seringkali membuat seseorang jadi bertindak (bahkan bertabiat) tertentu yang merupakan pembelaan ego dari luka yang didapatnya, trus akibatnya, jadilah peristiwa-peristiwa ‘ikutan’ lainnya, dan gak selalu berhubungan sih. Misalnya, pernah gak kita sedikit memikirkan (banyak juga boleh), kenapa sih seseorang tega membunuh, berantai pula… (bukan mau belain yang udah jelas salah ya) Cuma, andai kita melihat ke jiwa nya, mungkin kita akan melihat luka besar menganga melubangi jiwanya. (siapa tahu…), kita bahkan gak pernah tahu (dan gak mau tahu) seberapa dasyat kengerian yang pernah ia dapat sepanjang hidupnya. Kita (apalagi saya) seringkali (dan lebih memilih) berkubang dan meratapi kenyerian luka-luka kita sendiri, tanpa pernah menyoba melihat (bahkan sekedar mengintip) luka orang lain. Mungkin itu juga ‘manusia’ banget sih, bukankah kita juga sedang sibuk menghentikan cucuran darah dari luka kita, atau bahkan sedang sibuk mengobati luka lama. Tapi, saya rasa gak akan pernah salah kalau kita mencoba merasakan (minimal memaklumi), rasa luka jiwa-jiwa lain. Saya membayangkan, andai kata kita bisa melihat jiwa orang lain , gak tahu seperti apa rasanya ketika kita bertemu orang dan ngeliat luka-luka jiwanya, bahkan saat orang itu tersenyum , tertawa dengan lubang menganga dan berdarah, atau bahkan kita berhadapan dengan orang yang sangat menjengkelkan, dan saat yang bersaam pula kita melihat bahwa leruh jiwanya diselimuti luka-luka bernanah. (menghayal banget ya, hehehe). Tapi percayalah, kita semua pernah terluka, dan ada yang belum sembuh benar. Masih sakit? Hmmm… jangan-jangan orang yang ada di hadapan kita sekarang ini pun sedang kesakitan lebih dari yang bisa kita bayangkan. Jadi… yang sabar ya… kalo kita masih bisa bertahan dengan kenyerian kita, mungkin itu saatnya kita menolong mengobati luka orang di hadapan kita ini. Marilah kita saling melukai eh salah, wakakakak, marilah kita saling memaklumi luka sesame hehehe
(hadeeeh, kok jadi ngomong serius gini ya…)

tapak dara (Ammocallis rosea), tumbuh di atas batu tela di halaman kantor

2 komentar:

water_lily mengatakan...

pembelaan diri
padahal sedang sibuk melukai diri sendiri...
ini mah akibat kebanyakan ngungsi di kantor...
pulang oiiii....
:P

Anonim mengatakan...

Ketika kehidupan nyata mempertontonkan duka
Dan bunga tidur terus-menerus menawarkan luka..