Rabu, 08 September 2010

Idola-Nabire

Kembali mengunjungi kota Nabire setelah hampir 8 tahun meninggalkannya.
Banyak yang berubah, tapi yang pasti tetep panasssss wkwkwk
Nyempetin ke rumah makan Idola (8 tahun lalu blom ada), sempetin motret walo pake kamera handphone

Selasa, 07 September 2010

Homeyo bagian IV-Misteri

Keesokan paginya, udara sangat dingin dan berkabut. Kabut yang lumayan tebal membuat rumah dinas Kepala Distrik yang hanya dipisahkan dengan sebuah kebun tampak lebih angker. ya, rumah megah (untuk ukuran Homeyo)ini sudah kosong berbulan-bulan. apa pasal? ketika ditinggal oleh pemiliknya, pernah semua lampu di rumah ini menyala selama 3 hari berturut-turut (padahal gak ada aliran listrik di Homeyo, karena jaringan PLTA yang dibangun, selalu rusak tanpa pernah diketahui sebabnya, misalnya pipa bengkok sendiri dalam sekejab, atau turbin meledak). Rekan-rekan dari Primari pun, pernah mengecheck sendiri, mengapa lampu di rumah itu bisa menyala, hasilnya tetap misteri...
Karena cuaca yang kurang mendukung, ditambah lagi ketidakpastian pesawat penjemput tim (tim sudah menyiapkan mental untuk berjalan kaki ke Sugapa ibukota kabupaten, yang diperkirakan bakal memakan waktu seharian penuh, karena musti melewati rawa dan tentu saja jurang dan tebing, bila benar-benar pesawat batal menjemput)kami memutuskan untuk tidak ke Desa Bamba. Kami memusatkan penelitian di Pogapa saja(deketttt) Agak mengejutkan, karena walaupun dekat dengan Puskesmas, masih saja kami menemukan pasien yang enggan berobat ke puskesmas. kami mengobatinya di dalam honai.
(interior Honai milik seorang kepala suku di Pogapa)
(mengobati pasien dalam honai)
Sambil melakukan riset, kami makin banyak mendapat cerita-cerita mistik dari Pogapa. Antara lain, banyak orang yang didiagnosa penyakit karena roh jahat. untuk yang divonis penyakit ginian, gak ada pilihan pengobatan buat mereka. si pasien akan diikat tangan dan kakinya, lalu ditenggelamkan ke sungai besar di lembah Homeyo. Saya sempat ditunjukkan foto pasien terakhir yang dibuang di sungai beberapa minggu sebelumnya (menurut saya pasien dengan perut besar itu menderita ascites:timbunan cairan di perut karena sirosis hati), tragis. Juga kita perlu berhati-hati bila penduduk setempat memberi makanan yang dibungkus daun (si pemberi tidak menyentuh makanan secara langsung) karenamakanan itu bisa saja sudah diguna-gunai. dan yang paling seram adalah, setiap malam dari arah bukit hutan, akan muncul bola-bola cahaya berwarna merah jingga seperti api. penduduk Pogapa sangat takut dengan bola-bola api (yang akan mendekat bila kita mengarahkan cahaya senter ke bola tersebut)Seluruh anggota tim termasuk saya sudah melihat langsung bola bola api tersebut, dan sudah mencoba menyenterinya. Benar saja, bola api tersebut terbang mendekat dengan kecepatan luar biasa, dan lari pontang-pantinglah kami. konon bola api ini berupa sebuah kelereng 12 warna, yang bila disentuh akan berubah menjadi wanita cantik dan sudah ada 2 korban yang direnggutnya. 1. seorang anggota TNI yang menjadi gila. 2. mantan kepapa distrik, yang anaknya meninggal karena diminta oleh sang wanita itu.
Tanggal 2 Agustus pun kami lalui dengan memetakan penderita malaria di Pogapa, dan tidak berbeda dengan perilaku penduduk setempat, kami lari berhamburan menuju landasan pesawat meninggalkan pekerjaan kami saat mendegar deru pesawat mendarat hahaha (Kelegaan luar biasa, ketika kami mendapat kepastian bahwa tanggal 3 Agustus,pesawat bersedia menjemput tim)



(anak bermain di tepi landasan)
(mendekati pesawat)
(anak-anakmengangkut barang dari pesawat dengan upah Rp1000-2000)
malam harinya kami masih mencoba menangkap nyamuk dengan umpan badan, sambil membakar ubi di tungku

Tanggal 3 pagi, kami terbang meninggalkan Homeyo. Sungguh masyarakat, budaya dan alamnya tak akan terlupakan

Senin, 06 September 2010

Homeyo Bagian III (Berburu Nyamuk)

Akhirnya perburuan nyamuk dimulai juga.
Tanggal 31 Agustus, kami memutuskan menuju desa Degesiga, yang terdiri dari beberapa dusun. Hanya 2 dusun yang berhasil kami kunjungi, dusun Janogo dan Engganengga. Tidak ada transportasi lain selain jalan kaki menuju desa ini. Jangan salah, desa dan dusun ini terasa sangat dekat, karena dapat terlihat dari Pogapa, tetapi, ternyata untuk mencapainya harus menuruni jurang dan mendaki tebing, hingga muncul istilah 'dekat di mata, jauh di kaki' hehehe...
Tim riset didampingi LSM Primari, Kapolsek dan Danramil (trims berat buat semuanya, gak hanya jadi penunjuk jalan, tapi bener-bener jadi tumpuan jalan deh)kami mulai menuju dusun pertama, matahari yang terik tapi dengan suhu dingin dan tempat yang tinggi membuat tubuh kami cepat lelah sekaligus tertipu. Di samping nafas segera terengah-engah, badan terbakar pun gak terasa (saat ini, tengkuk dan sebagian leher belakang saya bener-bener gosong dan mulai mengelupas, duhhh)
(Tim Riset malaria, di turunan depan SMP, masih tersenyum lebar, malam harinya ketika melewati turunan/tanjakan ini, kami kehabisan nafas, bahkan ada yang sampe terbaring di tengah jalan, hehehe)

Di tengah jalan, beberapa kali kami bertemu Aita (bapak) atau Ama (ibu-ibu) yang melintas dari kebun, dengan ramah mereka menyapa amakane (untuk 1 orang) atau amakaniye (bila ketemu orang lebih dari 1)yang kurang lebih artinya,selamat...(jadi mau pagi, siang atau malam, sapaannya tetep sama)
Sampe di Janogo, kami mulai mendata orang yang pernah sakit malaria 9berdasar laporan Dinas Kesehatan), mencatat koordinat rumah (dengan GPS), serta mencari jentik di genangan atau kolam di sekitar kampung (bener-bener deh, seumur umur baru kali ini bolak balik nyiduk air cari jentik nyamuk, wkwkwk)
Honai (rumah asli Papua) di Homeyo agak berbeda dari daerah lain misalnya Wamena. Honai cenderung bersudut (biasanya membulat) bahkan tak jarang benar benar persegi empat, dengan bahan dari kayu dan atap ditumbuhi tanaman atau bunga
(jangan salah, yang ini bukan rumah, tapi kandang babi lho)

Selanjutnya kami menuju dusun Engganengga. Jalanan makin menggila. Anggota tim perempuan, memutuskan untuk balik dan menunggu di Janogo (bener-bener keputusan sangat sangat sangat tepat, wkwkwk)Jalan makin terasa berat, karena kami kehabisan air minum, dan tanjakan dan turunan makin curam, serta berbatu batu, jadi kalo salah melangkah, bakal terpeleset.Tapi dihibur dengan pemandangan spektakuler dan sungai yang seger banget airnya.

Beberapa kali kami berhenti untuk mengatur nafas, juga sekali berhenti di tengah jalan untuk memeriksa darah (dengan Rapid Diagnostic Test malaria)sekaligus mengobati 2 orang anak yang dibawa ibunya. Anak kecil yang berada di dalam tas noken ibunya (lucu aja liat cara bawa anak dalam tas), positif malaria campuran falciparum dan vivax)(menggendong anak dalam tas noken)

Sesampai di Engganengga (dengan nafas dan tenaga yang tersisa) ternyata kami harus berkumpul dalam gereja dan melakukan pengobatan massal!! (gila aja, gak siap...)
(gerbang dusun)

(interior gereja)

dengan obat yang minimal (thanks Primari) dan sisa RDT malaria, kami nekad melakukan pengobatan massal sambil menjaring penderita baru malaria. Dari 8 orang yang di test, 4 orang ternyata positif malaria.Penduduk sangat membutuhkan pelayanan kesehatan kami melepas dahaga dengan minum air dari mata air tanpa dimasak (tapi asli seger banget, gak peduli udah haus stengah mati, wkwkwk).Setelah pengobatan, kami lanjutkan mencatat koordinat lokasi dan mencari genangan air untuk menangkap jentik

(seorang pria dengan 'bedak' lumpur, tanda ia sedang berduka karena salah satu anggota keluarganya baru saja meninggal)
(2 orang anak memandang dengan takjub ke arah Mas Mardi,hihihi)

Setelah itu, kami kembali ke Janogo (sekali lagi melewati jalanan maut) dan memutuskan menangkap nyamuk hingga malam tiba dengan menggunakan umpan badan(Sempet juga makan siang berupa ubi dan jagung rebus, juga mengobati pegel-pegel di kaki dengan daun 'gatal' obat anti nyeri tradisional....hehehe).
(daun gatal anti nyeri)
Karena cuaca yang kurang mendukung dan nyamuk yang jumlahnya jarang, kami memutuskan kembali pukul 8 malam ke Pogapa. Bisa dibayangkan gimana serunya jalan kaki malam hari melewati jalanan maut, hahaha. Kami sepakat untuk menggalakkan olah raga sekembali ke Jayapura nanti
(mencoba menangkap nyamuk dengan umpan badan sendiri)
Sesampai di Pogapa nyaris tengah malam, kami langsung menyiapkan dan makan malam (menu andalannya; berbagai olahan mie instan,wkwkwk... )dan dilanjutkan tidur malam (tentu aja dengan bonus keram kaki) dan dalam hati kecil berharap bakal hujan deras supaya besok gak jalan jauh lagi (rencananya keesokan harinya kami menuju Desa Bamba, yang jalannya lebih maut lagi, tidakkkkk...)

Minggu, 05 September 2010

Homeyo Bagian II (Wajah Pogapa)

Pagi hari tanggal 31 Agustus cuaca pagi terasa dingin (15 derajat Celcius tepatnya...)walaupun matahari sebenernya udah agak tinggi juga sih.

Tim mulai bergerak, untuk riset? gak sih, tapi ke pasar tradisional hehehe
Bukan berarti kami gak niat meneliti sih, tapi emang rencana riset menuju Desa Degesiga akan kami laksanakan agak siangan, karena di samping penduduk distrik sedang ke pasar (ada 3 hari pasar dalam seminggu: Selasa, Kamis dan Sabtu), penduduk desa yang akan kami tuju juga sering menjalankan hukuman! Hukuman? ya....
Beberapa hari sebelum kami datang, terjadi pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ayah yang anaknya sakit dan meninggal mendadak dan diduga karena ilmu hitam. Sang ayah yang marah besar, mengundang seorang ibu yang diduga memiliki ilmu hitam untuk berdoa di depan jasad sang anak. Saat sang ibu menunduk berdoa, ditebaslah leher ibu tersebut hingga meninggal di tempat. Pogapa gempar, sang ayah dihajar massa dan dijebloskan ke dalam sel, sementara hukum adat juga berlaku. Di samping membayar denda berupa beberapa ekor babi dan uang, keluarga dan penduduk sedusun si pembunuh, didenda untuk membersihkan area umum di Distrik Homeyo, seperti landasan pesawat, lapangan kantor distrik, halaman kantor-kantor dan pasar.
Yang bikin kami sempat merinding adalah, tepat 1 hari sebelum kami datang ke Pogapa, sang pembunuh berhasil melarikan diri, hehehe.... dan menghilang dalam hutan. Bener kata orang, kalo mau ngeliat kondisi asli suatu daerah, datanglah ke pasar tradisionalnya.

Pasar Pogapa sangat sederhana, semua penjualnya adalah penduduk asli. Barang dagangan yang dijual hampir semuanya hasil bumi
Ada beberapa yang bahkan belum pernah saya lihat atau rasakan. Seperti sayuran yang mereka sebut sebagai sayur hutan,jagung berkulit merah atau sejenis kacang polong yang dijual dalam keadaan matang (direbus)dan ada juga buah berry hutan yang rasanya asam segar. Harga barang dagangan ini sangat murah, buah berry misalnya, hanya Rp 2000 setumpuk.
Sayur hutan
Berry hutan dan sejenis kacang polong besar
jagung kulit merah
Sayuran yang diikat dengan tangkai daun talas

Puas belanja dan tentu saja motret di pasar, kami pulang menuju mess dengan melewati Sekolah Dasar Pogapa. Setelah makan pagi barulah kami menuju desa Degesiga, untuk mulai riset vektor malaria

Jumat, 03 September 2010

Homeyo Bagian I (Menuju Teras Nirwana)

Horeeeee
ke pedalaman lagi....
Sekali lagi terlibat dalam riset tentang serangga, tepatnya nyamuk Anopheles sebagai vektor penyakit malaria, yang tiba-tiba mewabah di Distrik Homeyo. Distrik yang berada sekitar 2000 M dpl ini merupakan bagian dari Kabupaten Intan Jaya pecahan dari kabupaten Paniai. Peristiwa malaria yang konon merenggut 42 jiwa ini menjadi istimewa, karena vektor malaria tidak biasanya berada di daerah tinggi, apalagi dengan suhu hanya sekitar 15-25 derajat Celcius ini. (tapi asli, selama di Homeyo suhu gak pernah lebih dari 20 derajat C, deh)
perlengkapan perang (sebagian baru neh, yang lama digondol maling, hehehe)

Tim riset yang terdiri dari 5 orang ini berangkat pada tanggal 30 Agustus 2010 dari Sentani Jayapura menuju Nabire menggunakan pesawat komersil sekitar 1 jam 10 menit dan dilanjutkan dari Nabire ke Desa Pogapa (Distrik Homeyo) menggunakan pesawat kecil tipe Pilatus yang memuat 7 orang dengan barang atau 9 orang tanpa barang/bagasi. Secara kebetulan saat dalam pesawat menuju Nabire, sempat juga ada seekor nyamuk berukuran besar nangkring di jendela pesawat

Perjalanan dari Nabire menuju Pogapa sangat luar biasa, kami berenam (5 orang tim dan 1 pilot) berada di dalam pesawat (yang terasa sempit), melayang di atas lautan pepohonan tanpa batas, hutan, hutan dan hutan…. Hanya sungai atau tebing dan bukit saja yang menyelingi. Kami berlima tidak banyak mengucapkan kata, entah kagum, sedikit ngeri bahkan mungkin kelelahan (karena jadwal seharusnya, baru tanggal 31 kami ke Pogapa, tapi karena satu dan lain hal, secara dadakan tanggal 30 itu juga kami harus ke Pogapa, dan hanya punya waktu sekitar 1 jam saja untuk berkemas dan berbelanja… panik berat! Sampe-sampe gak sempet ngabarin keluarga, kalo musti terbang lanjut gitu)

Setelah terbang di atas hutan belantara sekitar 1 jam, sampailah kami di Distrik Homeyo desa Pogapa ini. Desa yang berada di tepi jurang di puncak bukit dan di antara hutan (jujur, langsung terpikir :’bener-bener kurang kerjaan bermukim di tempat ginian, hehehe’) ini sungguh eksotis. Ketika pesawat landing, kami disambut penduduk desa yang bagi saya tampak agak ‘ndeso’, liat pesawat aja sampe heboh gitu, (percaya atau gak, beberapa hari kemudian kamipun ikut berlarian menyambut pesawat yang landing, sama dengan perilaku penduduk Pogapa, wkwkwk)

Selama di Pogapa kami menginap di mess Koramil (yang oleh penduduk setempat disebut KOLAMIR, hihihi … susah nyebutnya kali…) dan selalu ditemani oleh tim dari suatu LSM Kesehatan (bener-bener thanx berat deh, kalo gak ada kalian, gak kebayang deh hehehe)
kantor Koramil tampak depan
Pemandangan ke arah desa dari depan mess Koramil
Seperti dataran tinggi lainnya (dan dingiiiiin), tumbuhan terutama bebungaan, tumbuh dan berkembang dengan luar biasa.
Semua awalnya terasa indah dan sempurna seperti berada di beranda sebuah nirwana...., hingga kami mendengarkan kisah-kisah mistis, unik, hingga mengalaminya sendiri …dan juga saat riset berburu nyamuk dimulai… oh… gak deh… hehehe
Tim unik, dengan pekerjaan unik di daerah unik pula…hehehe

Pemandangan dari halaman rumah kepala Puskesmas Pogapa, disaat gerimis sore hariAnak-anak yang sedang bermain di lapangan, di tepi landasan pesawat