Jumat, 03 Agustus 2018

Kembali....


Brighton Beach 22 Maret 2018

Minggu, 01 Mei 2016

akhir

waktunya tiba..
ketika hawa berhenti...
dan cahaya beku....

akhirnya...

Jayapura pagi hari, dari udara 30 April 2016

Kamis, 21 April 2016

Dikiya, Kampung Berselimut Kabut



Gak pernah terbayangkan sebelumnya kalo saya sampe juga di daerah ini.
Denger namanya aja gak pernah hehehe. Padahal kalo melihat lokasi, sebenernya  ya gak asing banget sih buat saya. Kampung ini berada di wilayah Kabupaten Nabire. Nah, saya kan udah akrab banget dengan Nabire, saat balita, dokter PTT hingga sekarang pun beberapa kali saya tugas ke Nabire.

Ternyata, yang namanya Dikiya aja baru denger sekarang, ketika saya kebagian jatah survei untuk potensi wilyah penempatan program Nusantara Sehat. Karena bunyi kegiatannya  aja ada unsur kesehatannya, ya surveinya pun gak jauh jauh dari fasilitas kesehatan di Kampung Dikiya.

Menuju kampung ini, ternyata bukan perkara mudah. Ada 2 alternatif, yaitu: carter helikopter (gak kebayang kan? Tapi ini juga hampir saya lakukan saat mo ke Nduga dulu) atau jalan kaki minimal 3 hari (inget, 3 hari bagi kaki penduduk setempat yang udah terbiasa, kalo kaki saya??? Hadehh ngebayangin aja udah kram duluan rasanya betis nih hehehe…)
Sekarang perkara carter helikopter pun masih bermasalah. Ternyata ada beberapa perusahaan pesewaan helikopter, dan jenis helikopternya pun gak satu macem. Awalnya saya dan tim mo carter helikopter yang agak gedean ( sekedar info, helikopter model gini bisa muat sampe 11 penumpang, harga sewanya: 90 juta pp, hiiiii) tapi… tetep aja susah, 2 perusahaan yang saya hubungi gak bisa melayani karena heli-heli gede itu pada rusak. Trus carilah heli yang berukuran kecil (muat 5 orang penumpang dan harga sewanya lebih ‘murah’ yaitu 70 juta pp, hiks..). Nah, dapat juga nih perusahaan yang mo nyewain heli ini untuk kami pake 2 hari ke depan. Lah, ternyata sang pilot gak tau pasti titik koordinat Kampung Dikiya, jadi saya diminta mencari koordinat pastinya (waduh… kok jadi mirip banget pas batal ke Nduga dulu ya?)

Akhir kata, kami akhirnya ganti menyewa helikopter kecil di perusahaan lain. Tapi bukan berarti pilot perusahaan yang ini tau pasti koordinat Dikiya lho ya, sama aja belum tau posisi koordinatnya, tapi perusahaan ini janji mo nyari sendiri koordinat pastinya. Ya iyalah..saya pusing juga kalo disuruh nyari lagi, perusahaan penerbangan yang wira-wiri pedalaman Papua aja gak tau, masa saya yang kerjanya cuma wira-wiri mal dan pusat perbelanjaan musti tau, hahahaha.

Udah, akhirnya kami berangkat juga terbang ke Dikiya, dengan helikopter. Musti sepagi mungkin berangkatnya yang penting matahari uah terbit dan  kalo kesiangan  dikit daerah pegunungan akan tertutup kabut, gak bisa lewat itu heli (tepatnya gak bisa ngeliat, pilotnya). Jujur, kami telat sejam lebih dari jadwal karena ada anggota tim yang telat datang.
Pemandangan sepanjang perjalanan sungguh luar biasa. Tentu aja didominasi hutan , tebing dan jurang. Yang luar biasa adalah banyak sekali dijumpai air terjun, bahkan ada komposisi 3 buah air terjun yang kemudian menyatu menjadi sebuah air terjun
.
Pemandangan Kota Nabire dari helikopter

Kampung Dikiya dari helikopter


Kampung Jigikebo yang terletak di seberang kampung Dikiya. menuju kampung ini memakan waktu jalan kaki 1 hari




Sekitar 35 menit kami terbang, sebelum akhirnya kami mendarat di landasan Kampung Dikiya. Landasan ini sedang dikembangkan agar dapat disinggahi pesawat kecil dan bukan hanya helikopter saja. Kami disambut oleh penduduk setempat, rupanya begitu terdeengar suara helikopter, penduduk berbondong-bondong ke landasan.
Untuk mencapai puskesmas kami masih harus berjalan sekitar 1,5 km dan kondisi jalan menanjak. Udara cukup sejuk karena berada di ketinggian 1.860 m dpl. Tidak ada kendaraan apapun di Kampung dikiya. Semua ditempuh dengan jalan kaki. Kami sempat melewati sebuah gereja dan sebuah sekolah dasar. Sekolah dasar berdinding dan berlantai kayu ini terdiri dari 2 buah kelas. Namun hanya satu kelas yang terisi bangku, itupun hanya setengah kelas saja. Saat itu tampak seorang guru tengah mengajar, dan jumlah murid saat itu hanya satu orang!!!. Bapak guru yang masih merupakan tenaga kontrak itu mengajar sambil mengasuh kedua orang anaknya, sementara sang istri berkerja di kebun.
Perjalanan menuju kampung dari landasan
Gedung SD dan rumah guru di bagian depan

Gedung SD

Kelas dengan 1 siswa

kantor Distrik  Dipa
Gereja Dikiya

Puskesmas dan Rumah dinas



 Saya gak akan cerita banyak soal puskesmas (soalnya bagian kerjaan kalo soal itu, hehehe). Yang pasti kesempatan mengunjungi Dikiya sangat berkesan buat saya. Sederhana dan serba terbatas, bagus banget buat yang mau berkontemplasi atau merenungi hidup deh, terutama bagi yang selalu merasa tidak puas dengan hidupnya. Kondisi Dikiya membuat kita membuka mata dan sekaligus mata hati, masih di negara yang sama, tanah yang sama dan udara yang sama tapi kondisi yang luar biasa berbeda. 
Sayuran yang kami makan untuk makan malam

Jenis tumbuhan kecil berbuah merah  dan lumut



Kami berencana hanya sehari di Dikiya, namun keesokan harinya cuaca berubah cepat, hujan diiringi kabut silih berganti dengan panas terik. Namun seperti yang diduga, helikopter tidak datang menjemput kami. Padahal kami dan beberapa penduduk sudah menunggu di landasan sebelum jam 7 pagi hingga jam 12 siang (biasanya helicopter gak mungkin menjemput lagi di atas jam 12 siang). Kami ditemani penduduk menunggu di landasan, ya.. penduduk berbondong-bondong pula ingin menaiki helikopter. Nah gimana misal helikopternya cukup untuk 5 orang aja (tim kami berisi 5 orang). Berebut … kami sudah diperingatkan bahwa harus sesegera mungkin menaiki helikopter sebelum  penduduk naik, karena kalau sudah terlanjur duduk, akan sulit sekali meminta orang tersebut turun lagi. Miris bagi saya… itu benar benar menunjukkan kebutuhan luar biasa akan transportasi.

Kami baru dijemput pada hari ke-3. Itupun kami musti menunggu bersamaan dengan matahari terbit, musti sepagi itu untuk menghindari persaingan sengit menaiki helikopter hehehe (tapi kan gak tau juga helikopter jemputnya jam berapa ya..)
Kumpulan penduduk yang sedang ikut menunggu helikopter
Helikopter akhirnya menjemput kami pagi itu, sekitar jam 7 pagi kami berjingkrak jingkrak waktu helikopter terlihat dari kejauhan. Hanya 3 2 hari kami di Dikiya, tapi waktu terasa bergulir begitu lama…
Dikiya, Dikiya, Dikiya… masih banyak yang perlu dilakukan di kampung ini


Pemandangan saat pulang
Tim Dikia

Jumat, 25 Desember 2015

Tidak lagi 'menduga-duga Nduga'


Tahun 2010, saya pernah nulis di blog soal mo riset di Nduga tapi batal. Nah, akhirnya setelah 5 tahun berlalu, akhirnya bisa juga saya sampe di Nduga, kabupaten paling tinggi di Provinsi Papua ini.
Judulnya sih sama aja, dalam rangka riset, tapi kali ini risetnya beda.. penuh ketegangan.. hehehe.. beneran.
Berawal dari berita di media massa soal kematian balita di Desa Mbuwa, Nduga yang konon katanya misterius itu, akhirnya akhir November hingga awal Desember lalu berbondong-bondonglah kami tim investigator dari segala sisi kesehatan menuju ke desa ini.
Saya gak akan nyeritain secara detilnya deh, tapi yang pasti biaya yang mahal banget ke sana ( Rp 8 juta PP pake mobil dari Wamena sekitar 4 jam an) dengan medan yang aduhai perpaduan antara keindahan dan jurang-jurang ngerimembuat saya mengucap syukur karena bisa nyampe dengan selamat. hehehe.

Entah kebetulan entah tidak, tapi setiap saya mulai mempertanyakan ketidakadilan dalam hidup(ku) hadehhhh...., selalu aja dijawab dengan luar biasa oleh yang punya hidup nih...Percayalah, kalo kita diberi kesempatan melihat sisi lain yang begitu berbeda (seperti beberapa tempat di pedalaman Papua), hati dan jiwa kita serasa dilemparkan keluar dari tempatnya, dan mau gak mau akan memaksa kita melihat hidup dari sisi yang berbeda. Pokoknya kalo mau ber'kontemplasi' pergilah ke salah satu pedalaman di Papua. Saya yang udah berkali-kali ke pedalaman, tetep aja kena sensasi 'cuci hati-jiwa' ini. Bisa-bisanya di satu daratan yang sama, tapi kehidupan yang bedaaaaa banget.
Akhir kata, penyebab dan jumlah pasti bayi yang meninggal sudah berhasil diungkapkan dengan pasti (bahkan sempat meligat sendiri pemakaman salah satu balita di sana) dan tak lama lagi kami akan kembali kesana untuk bakti sosial. Tapi sungguh apapun yang sempat saya lihat selama perjalanan dan selama di desa Mbuwa, masih begitu melekat.
Semoga situasi disana segera membaik.
Lapangan terbang Desa Mbuwa


salah satu sisi desa Mbuwa, yang pasti di ketinggian 2700 DPL bikin udara jadi dingin
Sungai yang membelah Desa Mbuwa
Salah satu telaga, pemandangan menuju Mbuwa yang luar biasa indah
Air terjun yang sungainya mengalir hingga di sisi jalan raya
Danau Habema yang terkenal itu

Kamis, 20 Agustus 2015

Doa Syukur

Suatu malam aku berdoa
'ajarilah kami untuk bersyukur dengan segala kesungguhan atas hidup kami, ya Tuhanku....'

keesokan harinya, aku bangun dengan sebuah lubang besar di dadaku...
dan aku bersyukur dengan sesungguhnya, atas tubuh yang masih bernyawa....

bersyukur....

sebuah danau, di atas pegunungan Jayawijaya

Kamis, 13 Agustus 2015

Malino

Setelah sempat menolak, akhirnya berangkat juga untuk mengikuti Diklat Kepemimpinan di Balai Besar Pelatihan Kesehatan Makassar. Jadwalnya sih lama banget ya (3 Agustus - 2 Desember 2015), tetapi ada jadwal balik ke kantor masing-masing sih... 
Hari libur pertama, Minggu tanggal 9 Agustus lalu, bersama teman-teman diklat kami menuju Malino. Sebuah kecamatan di kabupaten Gowa yang letaknya di dataran tinggi. Maunya sih kami berangkat pagi-pagi agar dapat mengunjungi banyak tempat, namun karena ada gangguan di salah satu kendaraan, kami nyampe di Malino lebih siang. Beberapa lokasi yang kami kunjungi: air terjun Takapala, lalu melihat hutan pinus, sempet juga sih berhenti di padang bunga liar yang bunganya gak ada deh di dataran rendah, dan akhirnya menunggu sunset sambil menikmati mint tea hangat, hmmmm

Air terjun Takapala
Bunga liar
Sunset dari puncak pegunungan

Rabu, 22 Juli 2015

Back to Biak

kembali ke Biak...
Duh gara-gara sempet supervisi dan ngelihat beberapa tempat wisata, rasanya jadi jatuh cinta sama pulau karang ini deh. Yakin, namanya pulau karang pasti bakalan banyak tempat indahnya. Bener aja, berombongan sama temen-temen yang emang tinggal di Biak, pas liburan lebaran kemarin 17-20 Juli, kami menjelajahi pulau Biak. Terutama ke tempat-tempat yang belum kami datangi sebelumnya.
Hari pertama, begitu mendarat di Biak dan meletakkan bawaandi  rumah teman yang sekaligus untuk menginap, kami langsung bergegas menuju telaga Samares. Telaga ini terletak di Biak Timur dan di tengah hutan. Jalan menuju telaga ini gak begitu bagus, dan harus melalui jalan kaki juga. Saat berangkatnya sih enak, karena jalannya menurun, tapi pas pulangnya, alamak..... mendaki hahaha. lumayan untuk uji kekuatan jantung, dan kaki tentu aja, hahaha. Padahal nih cuaca lagi hujan, tapi demi melihat telaga ini, tetep aja dijalanin.
Hutan menuju Telaga Samares
Telaga Samares di balik pepohonan

Telaga Samares, berdasar biru.
Hari ke dua kami memutuskan menuju lautan, kepulauan Padaido tepatnya. Awalnya kami ingin ke Pulau Undi sih, tapiiii ternyata banyak tempat indah di kepulauan ini. Beberapa kali kami harus menarik atau mendorong perahu karena perahu nyangkut di terumbu karang. Terumbu karangnya bagus banget...
Pulau pulau kecil di sekitar Pulau Rarsbar

yang paling menarik adalah sebuah pulau karang kecil, ditumbuhi beberapa perdu tapi banyak banget burung laut yang bersarang di pulau mini ini

Pulau karang yang dipenuhi burung
 Petualangan kami di kepulauan Padaido berakhir di sebuah pulau pasir. Tentu aja tanpa penghuni dan tanpa tumbuhan sebatang pun. Pulau ini juga dipenuhi dengan burung-burung laut yang mencari makan.
 pulau ini bernama Urbi Betyar, letaknya di dekat Pulau Urbi Kecil. bagaimana kabar Pulau Undi? hehehe kami gak jadi mendarat, sulit banget karena air mulai surut dan musti jauh banget berjalan dari tepian yang surut ke pulau.
Pulau Urbi Betyar
 Hari ke tiga kami kembali hunting di daratan. Kali ini kami mencari air terjun yang 'baru ditemukan' hahaha. Sebenernya sih air terjun ini baru aja booming, dan mustinya gak dikomersilkan. Menurut penduduk setempat, keliatannya bakal ditutup deh karena air terjun ini sebenernya sumber air minum di desa tersebut, dan larangan keras bila mengunjungi air terjun Karmun (ini nama sesungguhnya) adalah: berenang, memanjat tebing, nyampah. Setelah melihat langsung air terjun Karmun, ahhh langsung aja kami setuju dengan persyaratan dari penduduk. Jelas sayang banget kalo sampe dipanjat. Gimana gak, dinding air terjun ini berupa gugusan stalagtit dan stalagmit yang diukir (pastinya lama banget) oleh cucuran air terjun kecil yang mengandung kapur. Gak bakalan rela kalo rusak deh
Air Terjun Karmun
Setelah dari air terjun kami menuju pantai Wanai mampir bentar dan menjelang sore balik ke kota. Saat kembali ke kota kami melalui jembatan yang melintasi sungai Korem. saat itu sudah menjelang sore, dan sungai tampak damai banget.
Biak bener-bener bagus, dan yakin musti balik lagi ke Biak deh, hehehe