Kamis, 21 April 2016

Dikiya, Kampung Berselimut Kabut



Gak pernah terbayangkan sebelumnya kalo saya sampe juga di daerah ini.
Denger namanya aja gak pernah hehehe. Padahal kalo melihat lokasi, sebenernya  ya gak asing banget sih buat saya. Kampung ini berada di wilayah Kabupaten Nabire. Nah, saya kan udah akrab banget dengan Nabire, saat balita, dokter PTT hingga sekarang pun beberapa kali saya tugas ke Nabire.

Ternyata, yang namanya Dikiya aja baru denger sekarang, ketika saya kebagian jatah survei untuk potensi wilyah penempatan program Nusantara Sehat. Karena bunyi kegiatannya  aja ada unsur kesehatannya, ya surveinya pun gak jauh jauh dari fasilitas kesehatan di Kampung Dikiya.

Menuju kampung ini, ternyata bukan perkara mudah. Ada 2 alternatif, yaitu: carter helikopter (gak kebayang kan? Tapi ini juga hampir saya lakukan saat mo ke Nduga dulu) atau jalan kaki minimal 3 hari (inget, 3 hari bagi kaki penduduk setempat yang udah terbiasa, kalo kaki saya??? Hadehh ngebayangin aja udah kram duluan rasanya betis nih hehehe…)
Sekarang perkara carter helikopter pun masih bermasalah. Ternyata ada beberapa perusahaan pesewaan helikopter, dan jenis helikopternya pun gak satu macem. Awalnya saya dan tim mo carter helikopter yang agak gedean ( sekedar info, helikopter model gini bisa muat sampe 11 penumpang, harga sewanya: 90 juta pp, hiiiii) tapi… tetep aja susah, 2 perusahaan yang saya hubungi gak bisa melayani karena heli-heli gede itu pada rusak. Trus carilah heli yang berukuran kecil (muat 5 orang penumpang dan harga sewanya lebih ‘murah’ yaitu 70 juta pp, hiks..). Nah, dapat juga nih perusahaan yang mo nyewain heli ini untuk kami pake 2 hari ke depan. Lah, ternyata sang pilot gak tau pasti titik koordinat Kampung Dikiya, jadi saya diminta mencari koordinat pastinya (waduh… kok jadi mirip banget pas batal ke Nduga dulu ya?)

Akhir kata, kami akhirnya ganti menyewa helikopter kecil di perusahaan lain. Tapi bukan berarti pilot perusahaan yang ini tau pasti koordinat Dikiya lho ya, sama aja belum tau posisi koordinatnya, tapi perusahaan ini janji mo nyari sendiri koordinat pastinya. Ya iyalah..saya pusing juga kalo disuruh nyari lagi, perusahaan penerbangan yang wira-wiri pedalaman Papua aja gak tau, masa saya yang kerjanya cuma wira-wiri mal dan pusat perbelanjaan musti tau, hahahaha.

Udah, akhirnya kami berangkat juga terbang ke Dikiya, dengan helikopter. Musti sepagi mungkin berangkatnya yang penting matahari uah terbit dan  kalo kesiangan  dikit daerah pegunungan akan tertutup kabut, gak bisa lewat itu heli (tepatnya gak bisa ngeliat, pilotnya). Jujur, kami telat sejam lebih dari jadwal karena ada anggota tim yang telat datang.
Pemandangan sepanjang perjalanan sungguh luar biasa. Tentu aja didominasi hutan , tebing dan jurang. Yang luar biasa adalah banyak sekali dijumpai air terjun, bahkan ada komposisi 3 buah air terjun yang kemudian menyatu menjadi sebuah air terjun
.
Pemandangan Kota Nabire dari helikopter

Kampung Dikiya dari helikopter


Kampung Jigikebo yang terletak di seberang kampung Dikiya. menuju kampung ini memakan waktu jalan kaki 1 hari




Sekitar 35 menit kami terbang, sebelum akhirnya kami mendarat di landasan Kampung Dikiya. Landasan ini sedang dikembangkan agar dapat disinggahi pesawat kecil dan bukan hanya helikopter saja. Kami disambut oleh penduduk setempat, rupanya begitu terdeengar suara helikopter, penduduk berbondong-bondong ke landasan.
Untuk mencapai puskesmas kami masih harus berjalan sekitar 1,5 km dan kondisi jalan menanjak. Udara cukup sejuk karena berada di ketinggian 1.860 m dpl. Tidak ada kendaraan apapun di Kampung dikiya. Semua ditempuh dengan jalan kaki. Kami sempat melewati sebuah gereja dan sebuah sekolah dasar. Sekolah dasar berdinding dan berlantai kayu ini terdiri dari 2 buah kelas. Namun hanya satu kelas yang terisi bangku, itupun hanya setengah kelas saja. Saat itu tampak seorang guru tengah mengajar, dan jumlah murid saat itu hanya satu orang!!!. Bapak guru yang masih merupakan tenaga kontrak itu mengajar sambil mengasuh kedua orang anaknya, sementara sang istri berkerja di kebun.
Perjalanan menuju kampung dari landasan
Gedung SD dan rumah guru di bagian depan

Gedung SD

Kelas dengan 1 siswa

kantor Distrik  Dipa
Gereja Dikiya

Puskesmas dan Rumah dinas



 Saya gak akan cerita banyak soal puskesmas (soalnya bagian kerjaan kalo soal itu, hehehe). Yang pasti kesempatan mengunjungi Dikiya sangat berkesan buat saya. Sederhana dan serba terbatas, bagus banget buat yang mau berkontemplasi atau merenungi hidup deh, terutama bagi yang selalu merasa tidak puas dengan hidupnya. Kondisi Dikiya membuat kita membuka mata dan sekaligus mata hati, masih di negara yang sama, tanah yang sama dan udara yang sama tapi kondisi yang luar biasa berbeda. 
Sayuran yang kami makan untuk makan malam

Jenis tumbuhan kecil berbuah merah  dan lumut



Kami berencana hanya sehari di Dikiya, namun keesokan harinya cuaca berubah cepat, hujan diiringi kabut silih berganti dengan panas terik. Namun seperti yang diduga, helikopter tidak datang menjemput kami. Padahal kami dan beberapa penduduk sudah menunggu di landasan sebelum jam 7 pagi hingga jam 12 siang (biasanya helicopter gak mungkin menjemput lagi di atas jam 12 siang). Kami ditemani penduduk menunggu di landasan, ya.. penduduk berbondong-bondong pula ingin menaiki helikopter. Nah gimana misal helikopternya cukup untuk 5 orang aja (tim kami berisi 5 orang). Berebut … kami sudah diperingatkan bahwa harus sesegera mungkin menaiki helikopter sebelum  penduduk naik, karena kalau sudah terlanjur duduk, akan sulit sekali meminta orang tersebut turun lagi. Miris bagi saya… itu benar benar menunjukkan kebutuhan luar biasa akan transportasi.

Kami baru dijemput pada hari ke-3. Itupun kami musti menunggu bersamaan dengan matahari terbit, musti sepagi itu untuk menghindari persaingan sengit menaiki helikopter hehehe (tapi kan gak tau juga helikopter jemputnya jam berapa ya..)
Kumpulan penduduk yang sedang ikut menunggu helikopter
Helikopter akhirnya menjemput kami pagi itu, sekitar jam 7 pagi kami berjingkrak jingkrak waktu helikopter terlihat dari kejauhan. Hanya 3 2 hari kami di Dikiya, tapi waktu terasa bergulir begitu lama…
Dikiya, Dikiya, Dikiya… masih banyak yang perlu dilakukan di kampung ini


Pemandangan saat pulang
Tim Dikia