Gak pernah terbayangkan
sebelumnya kalo saya sampe juga di daerah ini.
Denger namanya aja gak pernah
hehehe. Padahal kalo melihat lokasi, sebenernya
ya gak asing banget sih buat saya. Kampung ini berada di wilayah Kabupaten
Nabire. Nah, saya kan udah akrab banget dengan Nabire, saat balita, dokter PTT
hingga sekarang pun beberapa kali saya tugas ke Nabire.
Ternyata, yang namanya Dikiya aja
baru denger sekarang, ketika saya kebagian jatah survei untuk potensi wilyah penempatan
program Nusantara Sehat. Karena bunyi kegiatannya aja ada unsur kesehatannya, ya surveinya pun
gak jauh jauh dari fasilitas kesehatan di Kampung Dikiya.
Menuju kampung ini, ternyata
bukan perkara mudah. Ada 2 alternatif, yaitu: carter helikopter (gak kebayang
kan? Tapi ini juga hampir saya lakukan saat mo ke Nduga dulu) atau jalan kaki
minimal 3 hari (inget, 3 hari bagi kaki penduduk setempat yang udah terbiasa,
kalo kaki saya??? Hadehh ngebayangin aja udah kram duluan rasanya betis nih
hehehe…)
Sekarang perkara carter
helikopter pun masih bermasalah. Ternyata ada beberapa perusahaan pesewaan
helikopter, dan jenis helikopternya pun gak satu macem. Awalnya saya dan tim mo
carter helikopter yang agak gedean ( sekedar info, helikopter model gini bisa
muat sampe 11 penumpang, harga sewanya: 90 juta pp, hiiiii) tapi… tetep aja
susah, 2 perusahaan yang saya hubungi gak bisa melayani karena heli-heli gede
itu pada rusak. Trus carilah heli yang berukuran kecil (muat 5 orang penumpang
dan harga sewanya lebih ‘murah’ yaitu 70 juta pp, hiks..). Nah, dapat juga nih
perusahaan yang mo nyewain heli ini untuk kami pake 2 hari ke depan. Lah,
ternyata sang pilot gak tau pasti titik koordinat Kampung Dikiya, jadi saya
diminta mencari koordinat pastinya (waduh… kok jadi mirip banget pas batal ke
Nduga dulu ya?)
Akhir kata, kami akhirnya ganti
menyewa helikopter kecil di perusahaan lain. Tapi bukan berarti pilot
perusahaan yang ini tau pasti koordinat Dikiya lho ya, sama aja belum tau
posisi koordinatnya, tapi perusahaan ini janji mo nyari sendiri koordinat
pastinya. Ya iyalah..saya pusing juga kalo disuruh nyari lagi, perusahaan
penerbangan yang wira-wiri pedalaman Papua aja gak tau, masa saya yang kerjanya
cuma wira-wiri mal dan pusat perbelanjaan musti tau, hahahaha.
Udah, akhirnya kami berangkat
juga terbang ke Dikiya, dengan helikopter. Musti sepagi mungkin berangkatnya
yang penting matahari uah terbit dan
kalo kesiangan dikit daerah pegunungan
akan tertutup kabut, gak bisa lewat itu heli (tepatnya gak bisa ngeliat,
pilotnya). Jujur, kami telat sejam lebih dari jadwal karena ada anggota tim
yang telat datang.
Pemandangan sepanjang perjalanan
sungguh luar biasa. Tentu aja didominasi hutan , tebing dan jurang. Yang luar
biasa adalah banyak sekali dijumpai air terjun, bahkan ada komposisi 3 buah air
terjun yang kemudian menyatu menjadi sebuah air terjun
.
Pemandangan Kota Nabire dari helikopter
|
Sekitar 35 menit kami terbang,
sebelum akhirnya kami mendarat di landasan Kampung Dikiya. Landasan ini sedang
dikembangkan agar dapat disinggahi pesawat kecil dan bukan hanya helikopter
saja. Kami disambut oleh penduduk setempat, rupanya begitu terdeengar suara
helikopter, penduduk berbondong-bondong ke landasan.
Untuk mencapai puskesmas kami
masih harus berjalan sekitar 1,5 km dan kondisi jalan menanjak. Udara cukup sejuk
karena berada di ketinggian 1.860 m dpl. Tidak ada kendaraan apapun di Kampung
dikiya. Semua ditempuh dengan jalan kaki. Kami sempat melewati sebuah gereja
dan sebuah sekolah dasar. Sekolah dasar berdinding dan berlantai kayu ini
terdiri dari 2 buah kelas. Namun hanya satu kelas yang terisi bangku, itupun
hanya setengah kelas saja. Saat itu tampak seorang guru tengah mengajar, dan
jumlah murid saat itu hanya satu orang!!!. Bapak guru yang masih merupakan
tenaga kontrak itu mengajar sambil mengasuh kedua orang anaknya, sementara sang
istri berkerja di kebun.
Gedung SD dan rumah guru di bagian depan |
Gedung SD |
Kelas dengan 1 siswa |
Gereja Dikiya |
Puskesmas dan Rumah dinas |
Saya gak akan cerita banyak soal puskesmas (soalnya bagian kerjaan kalo soal itu, hehehe). Yang pasti kesempatan mengunjungi Dikiya sangat berkesan buat saya. Sederhana dan serba terbatas, bagus banget buat yang mau berkontemplasi atau merenungi hidup deh, terutama bagi yang selalu merasa tidak puas dengan hidupnya. Kondisi Dikiya membuat kita membuka mata dan sekaligus mata hati, masih di negara yang sama, tanah yang sama dan udara yang sama tapi kondisi yang luar biasa berbeda.
Kami berencana hanya sehari di
Dikiya, namun keesokan harinya cuaca berubah cepat, hujan diiringi kabut silih
berganti dengan panas terik. Namun seperti yang diduga, helikopter tidak datang
menjemput kami. Padahal kami dan beberapa penduduk sudah menunggu di landasan
sebelum jam 7 pagi hingga jam 12 siang (biasanya helicopter gak mungkin
menjemput lagi di atas jam 12 siang). Kami ditemani penduduk menunggu di landasan,
ya.. penduduk berbondong-bondong pula ingin menaiki helikopter. Nah gimana
misal helikopternya cukup untuk 5 orang aja (tim kami berisi 5 orang). Berebut
… kami sudah diperingatkan bahwa harus sesegera mungkin menaiki helikopter
sebelum penduduk naik, karena kalau
sudah terlanjur duduk, akan sulit sekali meminta orang tersebut turun lagi.
Miris bagi saya… itu benar benar menunjukkan kebutuhan luar biasa akan
transportasi.
Kami baru dijemput pada hari
ke-3. Itupun kami musti menunggu bersamaan dengan matahari terbit, musti sepagi
itu untuk menghindari persaingan sengit menaiki helikopter hehehe (tapi kan gak
tau juga helikopter jemputnya jam berapa ya..)
Helikopter akhirnya menjemput
kami pagi itu, sekitar jam 7 pagi kami berjingkrak jingkrak waktu helikopter
terlihat dari kejauhan. Hanya 3 2 hari kami di Dikiya, tapi waktu terasa
bergulir begitu lama…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar