ilambra
Jumat, 03 Agustus 2018
Minggu, 01 Mei 2016
akhir
Kamis, 21 April 2016
Dikiya, Kampung Berselimut Kabut
Gak pernah terbayangkan
sebelumnya kalo saya sampe juga di daerah ini.
Denger namanya aja gak pernah
hehehe. Padahal kalo melihat lokasi, sebenernya
ya gak asing banget sih buat saya. Kampung ini berada di wilayah Kabupaten
Nabire. Nah, saya kan udah akrab banget dengan Nabire, saat balita, dokter PTT
hingga sekarang pun beberapa kali saya tugas ke Nabire.
Ternyata, yang namanya Dikiya aja
baru denger sekarang, ketika saya kebagian jatah survei untuk potensi wilyah penempatan
program Nusantara Sehat. Karena bunyi kegiatannya aja ada unsur kesehatannya, ya surveinya pun
gak jauh jauh dari fasilitas kesehatan di Kampung Dikiya.
Menuju kampung ini, ternyata
bukan perkara mudah. Ada 2 alternatif, yaitu: carter helikopter (gak kebayang
kan? Tapi ini juga hampir saya lakukan saat mo ke Nduga dulu) atau jalan kaki
minimal 3 hari (inget, 3 hari bagi kaki penduduk setempat yang udah terbiasa,
kalo kaki saya??? Hadehh ngebayangin aja udah kram duluan rasanya betis nih
hehehe…)
Sekarang perkara carter
helikopter pun masih bermasalah. Ternyata ada beberapa perusahaan pesewaan
helikopter, dan jenis helikopternya pun gak satu macem. Awalnya saya dan tim mo
carter helikopter yang agak gedean ( sekedar info, helikopter model gini bisa
muat sampe 11 penumpang, harga sewanya: 90 juta pp, hiiiii) tapi… tetep aja
susah, 2 perusahaan yang saya hubungi gak bisa melayani karena heli-heli gede
itu pada rusak. Trus carilah heli yang berukuran kecil (muat 5 orang penumpang
dan harga sewanya lebih ‘murah’ yaitu 70 juta pp, hiks..). Nah, dapat juga nih
perusahaan yang mo nyewain heli ini untuk kami pake 2 hari ke depan. Lah,
ternyata sang pilot gak tau pasti titik koordinat Kampung Dikiya, jadi saya
diminta mencari koordinat pastinya (waduh… kok jadi mirip banget pas batal ke
Nduga dulu ya?)
Akhir kata, kami akhirnya ganti
menyewa helikopter kecil di perusahaan lain. Tapi bukan berarti pilot
perusahaan yang ini tau pasti koordinat Dikiya lho ya, sama aja belum tau
posisi koordinatnya, tapi perusahaan ini janji mo nyari sendiri koordinat
pastinya. Ya iyalah..saya pusing juga kalo disuruh nyari lagi, perusahaan
penerbangan yang wira-wiri pedalaman Papua aja gak tau, masa saya yang kerjanya
cuma wira-wiri mal dan pusat perbelanjaan musti tau, hahahaha.
Udah, akhirnya kami berangkat
juga terbang ke Dikiya, dengan helikopter. Musti sepagi mungkin berangkatnya
yang penting matahari uah terbit dan
kalo kesiangan dikit daerah pegunungan
akan tertutup kabut, gak bisa lewat itu heli (tepatnya gak bisa ngeliat,
pilotnya). Jujur, kami telat sejam lebih dari jadwal karena ada anggota tim
yang telat datang.
Pemandangan sepanjang perjalanan
sungguh luar biasa. Tentu aja didominasi hutan , tebing dan jurang. Yang luar
biasa adalah banyak sekali dijumpai air terjun, bahkan ada komposisi 3 buah air
terjun yang kemudian menyatu menjadi sebuah air terjun
.
Pemandangan Kota Nabire dari helikopter
|
Sekitar 35 menit kami terbang,
sebelum akhirnya kami mendarat di landasan Kampung Dikiya. Landasan ini sedang
dikembangkan agar dapat disinggahi pesawat kecil dan bukan hanya helikopter
saja. Kami disambut oleh penduduk setempat, rupanya begitu terdeengar suara
helikopter, penduduk berbondong-bondong ke landasan.
Untuk mencapai puskesmas kami
masih harus berjalan sekitar 1,5 km dan kondisi jalan menanjak. Udara cukup sejuk
karena berada di ketinggian 1.860 m dpl. Tidak ada kendaraan apapun di Kampung
dikiya. Semua ditempuh dengan jalan kaki. Kami sempat melewati sebuah gereja
dan sebuah sekolah dasar. Sekolah dasar berdinding dan berlantai kayu ini
terdiri dari 2 buah kelas. Namun hanya satu kelas yang terisi bangku, itupun
hanya setengah kelas saja. Saat itu tampak seorang guru tengah mengajar, dan
jumlah murid saat itu hanya satu orang!!!. Bapak guru yang masih merupakan
tenaga kontrak itu mengajar sambil mengasuh kedua orang anaknya, sementara sang
istri berkerja di kebun.
Gedung SD dan rumah guru di bagian depan |
Gedung SD |
Kelas dengan 1 siswa |
Gereja Dikiya |
Puskesmas dan Rumah dinas |
Saya gak akan cerita banyak soal puskesmas (soalnya bagian kerjaan kalo soal itu, hehehe). Yang pasti kesempatan mengunjungi Dikiya sangat berkesan buat saya. Sederhana dan serba terbatas, bagus banget buat yang mau berkontemplasi atau merenungi hidup deh, terutama bagi yang selalu merasa tidak puas dengan hidupnya. Kondisi Dikiya membuat kita membuka mata dan sekaligus mata hati, masih di negara yang sama, tanah yang sama dan udara yang sama tapi kondisi yang luar biasa berbeda.
Kami berencana hanya sehari di
Dikiya, namun keesokan harinya cuaca berubah cepat, hujan diiringi kabut silih
berganti dengan panas terik. Namun seperti yang diduga, helikopter tidak datang
menjemput kami. Padahal kami dan beberapa penduduk sudah menunggu di landasan
sebelum jam 7 pagi hingga jam 12 siang (biasanya helicopter gak mungkin
menjemput lagi di atas jam 12 siang). Kami ditemani penduduk menunggu di landasan,
ya.. penduduk berbondong-bondong pula ingin menaiki helikopter. Nah gimana
misal helikopternya cukup untuk 5 orang aja (tim kami berisi 5 orang). Berebut
… kami sudah diperingatkan bahwa harus sesegera mungkin menaiki helikopter
sebelum penduduk naik, karena kalau
sudah terlanjur duduk, akan sulit sekali meminta orang tersebut turun lagi.
Miris bagi saya… itu benar benar menunjukkan kebutuhan luar biasa akan
transportasi.
Kami baru dijemput pada hari
ke-3. Itupun kami musti menunggu bersamaan dengan matahari terbit, musti sepagi
itu untuk menghindari persaingan sengit menaiki helikopter hehehe (tapi kan gak
tau juga helikopter jemputnya jam berapa ya..)
Helikopter akhirnya menjemput
kami pagi itu, sekitar jam 7 pagi kami berjingkrak jingkrak waktu helikopter
terlihat dari kejauhan. Hanya 3 2 hari kami di Dikiya, tapi waktu terasa
bergulir begitu lama…
Jumat, 25 Desember 2015
Tidak lagi 'menduga-duga Nduga'
Tahun 2010, saya pernah nulis di blog soal mo riset di Nduga tapi batal. Nah, akhirnya setelah 5 tahun berlalu, akhirnya bisa juga saya sampe di Nduga, kabupaten paling tinggi di Provinsi Papua ini.
Judulnya sih sama aja, dalam rangka riset, tapi kali ini risetnya beda.. penuh ketegangan.. hehehe.. beneran.
Berawal dari berita di media massa soal kematian balita di Desa Mbuwa, Nduga yang konon katanya misterius itu, akhirnya akhir November hingga awal Desember lalu berbondong-bondonglah kami tim investigator dari segala sisi kesehatan menuju ke desa ini.
Saya gak akan nyeritain secara detilnya deh, tapi yang pasti biaya yang mahal banget ke sana ( Rp 8 juta PP pake mobil dari Wamena sekitar 4 jam an) dengan medan yang aduhai perpaduan antara keindahan dan jurang-jurang ngerimembuat saya mengucap syukur karena bisa nyampe dengan selamat. hehehe.
Entah kebetulan entah tidak, tapi setiap saya mulai mempertanyakan ketidakadilan dalam hidup(ku) hadehhhh...., selalu aja dijawab dengan luar biasa oleh yang punya hidup nih...Percayalah, kalo kita diberi kesempatan melihat sisi lain yang begitu berbeda (seperti beberapa tempat di pedalaman Papua), hati dan jiwa kita serasa dilemparkan keluar dari tempatnya, dan mau gak mau akan memaksa kita melihat hidup dari sisi yang berbeda. Pokoknya kalo mau ber'kontemplasi' pergilah ke salah satu pedalaman di Papua. Saya yang udah berkali-kali ke pedalaman, tetep aja kena sensasi 'cuci hati-jiwa' ini. Bisa-bisanya di satu daratan yang sama, tapi kehidupan yang bedaaaaa banget.
Akhir kata, penyebab dan jumlah pasti bayi yang meninggal sudah berhasil diungkapkan dengan pasti (bahkan sempat meligat sendiri pemakaman salah satu balita di sana) dan tak lama lagi kami akan kembali kesana untuk bakti sosial. Tapi sungguh apapun yang sempat saya lihat selama perjalanan dan selama di desa Mbuwa, masih begitu melekat.
Semoga situasi disana segera membaik.
Judulnya sih sama aja, dalam rangka riset, tapi kali ini risetnya beda.. penuh ketegangan.. hehehe.. beneran.
Berawal dari berita di media massa soal kematian balita di Desa Mbuwa, Nduga yang konon katanya misterius itu, akhirnya akhir November hingga awal Desember lalu berbondong-bondonglah kami tim investigator dari segala sisi kesehatan menuju ke desa ini.
Saya gak akan nyeritain secara detilnya deh, tapi yang pasti biaya yang mahal banget ke sana ( Rp 8 juta PP pake mobil dari Wamena sekitar 4 jam an) dengan medan yang aduhai perpaduan antara keindahan dan jurang-jurang ngerimembuat saya mengucap syukur karena bisa nyampe dengan selamat. hehehe.
Entah kebetulan entah tidak, tapi setiap saya mulai mempertanyakan ketidakadilan dalam hidup(ku) hadehhhh...., selalu aja dijawab dengan luar biasa oleh yang punya hidup nih...Percayalah, kalo kita diberi kesempatan melihat sisi lain yang begitu berbeda (seperti beberapa tempat di pedalaman Papua), hati dan jiwa kita serasa dilemparkan keluar dari tempatnya, dan mau gak mau akan memaksa kita melihat hidup dari sisi yang berbeda. Pokoknya kalo mau ber'kontemplasi' pergilah ke salah satu pedalaman di Papua. Saya yang udah berkali-kali ke pedalaman, tetep aja kena sensasi 'cuci hati-jiwa' ini. Bisa-bisanya di satu daratan yang sama, tapi kehidupan yang bedaaaaa banget.
Akhir kata, penyebab dan jumlah pasti bayi yang meninggal sudah berhasil diungkapkan dengan pasti (bahkan sempat meligat sendiri pemakaman salah satu balita di sana) dan tak lama lagi kami akan kembali kesana untuk bakti sosial. Tapi sungguh apapun yang sempat saya lihat selama perjalanan dan selama di desa Mbuwa, masih begitu melekat.
Semoga situasi disana segera membaik.
Lapangan terbang Desa Mbuwa |
salah satu sisi desa Mbuwa, yang pasti di ketinggian 2700 DPL bikin udara jadi dingin |
Sungai yang membelah Desa Mbuwa |
Salah satu telaga, pemandangan menuju Mbuwa yang luar biasa indah |
Air terjun yang sungainya mengalir hingga di sisi jalan raya |
Danau Habema yang terkenal itu |
Kamis, 20 Agustus 2015
Doa Syukur
Suatu malam aku berdoa
'ajarilah kami untuk bersyukur dengan segala kesungguhan atas hidup kami, ya Tuhanku....'
keesokan harinya, aku bangun dengan sebuah lubang besar di dadaku...
dan aku bersyukur dengan sesungguhnya, atas tubuh yang masih bernyawa....
bersyukur....
'ajarilah kami untuk bersyukur dengan segala kesungguhan atas hidup kami, ya Tuhanku....'
keesokan harinya, aku bangun dengan sebuah lubang besar di dadaku...
dan aku bersyukur dengan sesungguhnya, atas tubuh yang masih bernyawa....
bersyukur....
sebuah danau, di atas pegunungan Jayawijaya |
Kamis, 13 Agustus 2015
Malino
Setelah sempat menolak, akhirnya berangkat juga untuk mengikuti Diklat Kepemimpinan di Balai Besar Pelatihan Kesehatan Makassar. Jadwalnya sih lama banget ya (3 Agustus - 2 Desember 2015), tetapi ada jadwal balik ke kantor masing-masing sih...
Hari libur pertama, Minggu tanggal 9 Agustus lalu, bersama teman-teman diklat kami menuju Malino. Sebuah kecamatan di kabupaten Gowa yang letaknya di dataran tinggi. Maunya sih kami berangkat pagi-pagi agar dapat mengunjungi banyak tempat, namun karena ada gangguan di salah satu kendaraan, kami nyampe di Malino lebih siang. Beberapa lokasi yang kami kunjungi: air terjun Takapala, lalu melihat hutan pinus, sempet juga sih berhenti di padang bunga liar yang bunganya gak ada deh di dataran rendah, dan akhirnya menunggu sunset sambil menikmati mint tea hangat, hmmmm
Air terjun Takapala |
Bunga liar |
Sunset dari puncak pegunungan |
Rabu, 22 Juli 2015
Back to Biak
kembali ke Biak...
Duh gara-gara sempet supervisi dan ngelihat beberapa tempat wisata, rasanya jadi jatuh cinta sama pulau karang ini deh. Yakin, namanya pulau karang pasti bakalan banyak tempat indahnya. Bener aja, berombongan sama temen-temen yang emang tinggal di Biak, pas liburan lebaran kemarin 17-20 Juli, kami menjelajahi pulau Biak. Terutama ke tempat-tempat yang belum kami datangi sebelumnya.
Hari pertama, begitu mendarat di Biak dan meletakkan bawaandi rumah teman yang sekaligus untuk menginap, kami langsung bergegas menuju telaga Samares. Telaga ini terletak di Biak Timur dan di tengah hutan. Jalan menuju telaga ini gak begitu bagus, dan harus melalui jalan kaki juga. Saat berangkatnya sih enak, karena jalannya menurun, tapi pas pulangnya, alamak..... mendaki hahaha. lumayan untuk uji kekuatan jantung, dan kaki tentu aja, hahaha. Padahal nih cuaca lagi hujan, tapi demi melihat telaga ini, tetep aja dijalanin.
Hari ke dua kami memutuskan menuju lautan, kepulauan Padaido tepatnya. Awalnya kami ingin ke Pulau Undi sih, tapiiii ternyata banyak tempat indah di kepulauan ini. Beberapa kali kami harus menarik atau mendorong perahu karena perahu nyangkut di terumbu karang. Terumbu karangnya bagus banget...
yang paling menarik adalah sebuah pulau karang kecil, ditumbuhi beberapa perdu tapi banyak banget burung laut yang bersarang di pulau mini ini
Petualangan kami di kepulauan Padaido berakhir di sebuah pulau pasir. Tentu aja tanpa penghuni dan tanpa tumbuhan sebatang pun. Pulau ini juga dipenuhi dengan burung-burung laut yang mencari makan.
pulau ini bernama Urbi Betyar, letaknya di dekat Pulau Urbi Kecil. bagaimana kabar Pulau Undi? hehehe kami gak jadi mendarat, sulit banget karena air mulai surut dan musti jauh banget berjalan dari tepian yang surut ke pulau.
Hari ke tiga kami kembali hunting di daratan. Kali ini kami mencari air terjun yang 'baru ditemukan' hahaha. Sebenernya sih air terjun ini baru aja booming, dan mustinya gak dikomersilkan. Menurut penduduk setempat, keliatannya bakal ditutup deh karena air terjun ini sebenernya sumber air minum di desa tersebut, dan larangan keras bila mengunjungi air terjun Karmun (ini nama sesungguhnya) adalah: berenang, memanjat tebing, nyampah. Setelah melihat langsung air terjun Karmun, ahhh langsung aja kami setuju dengan persyaratan dari penduduk. Jelas sayang banget kalo sampe dipanjat. Gimana gak, dinding air terjun ini berupa gugusan stalagtit dan stalagmit yang diukir (pastinya lama banget) oleh cucuran air terjun kecil yang mengandung kapur. Gak bakalan rela kalo rusak deh
Setelah dari air terjun kami menuju pantai Wanai mampir bentar dan menjelang sore balik ke kota. Saat kembali ke kota kami melalui jembatan yang melintasi sungai Korem. saat itu sudah menjelang sore, dan sungai tampak damai banget.
Biak bener-bener bagus, dan yakin musti balik lagi ke Biak deh, hehehe
Duh gara-gara sempet supervisi dan ngelihat beberapa tempat wisata, rasanya jadi jatuh cinta sama pulau karang ini deh. Yakin, namanya pulau karang pasti bakalan banyak tempat indahnya. Bener aja, berombongan sama temen-temen yang emang tinggal di Biak, pas liburan lebaran kemarin 17-20 Juli, kami menjelajahi pulau Biak. Terutama ke tempat-tempat yang belum kami datangi sebelumnya.
Hari pertama, begitu mendarat di Biak dan meletakkan bawaandi rumah teman yang sekaligus untuk menginap, kami langsung bergegas menuju telaga Samares. Telaga ini terletak di Biak Timur dan di tengah hutan. Jalan menuju telaga ini gak begitu bagus, dan harus melalui jalan kaki juga. Saat berangkatnya sih enak, karena jalannya menurun, tapi pas pulangnya, alamak..... mendaki hahaha. lumayan untuk uji kekuatan jantung, dan kaki tentu aja, hahaha. Padahal nih cuaca lagi hujan, tapi demi melihat telaga ini, tetep aja dijalanin.
Hutan menuju Telaga Samares |
Telaga Samares di balik pepohonan |
Telaga Samares, berdasar biru. |
Pulau pulau kecil di sekitar Pulau Rarsbar |
Pulau karang yang dipenuhi burung |
pulau ini bernama Urbi Betyar, letaknya di dekat Pulau Urbi Kecil. bagaimana kabar Pulau Undi? hehehe kami gak jadi mendarat, sulit banget karena air mulai surut dan musti jauh banget berjalan dari tepian yang surut ke pulau.
Pulau Urbi Betyar |
Air Terjun Karmun |
Biak bener-bener bagus, dan yakin musti balik lagi ke Biak deh, hehehe
Langganan:
Postingan (Atom)